Era Post-Truth dan Kesalahan Berpikir Individu Oleh: Teobaldus Hemma S.Pd.,M.Pd Aktivis Sosial Pro Demokrasi 

ADI DG SILELE

- Author

Jumat, 1 Agustus 2025 - 16:24 WIB

5071 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tribun1.com | Media sosial sangat mempengaruhi kesalahan berpikir individu, terutama dalam hal mengamati berbagai fenomena sosial kususnya di platfrom media sosial seperti; Facebook, Instagram, TikTok, Twitter dan media lainya. Disini, kebenaran selalu mencari jalannya sendiri. Hanya saja setelah kebenaran, lalu muncul istilah “post-truth” Ini justru malah menjauh dari kebenaran. Apa boleh buat, fenomena ini justru yang sedang terjadi. Dan membuat sesuatu menjadi, semakin tidak benar bagi individu yang mengkonsumsi informasi.

Jadi, kita cermati, apa itu “post-truth”. Post-truth adalah istilah yang merujuk pada kondisi di mana fakta objektif menjadi kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik, dibandingkan dengan emosi, keyakinan pribadi, atau narasi yang sesuai dengan pandangan individu. Dalam era post-truth, kebenaran sering kali dikaburkan oleh informasi yang manipulatif atau bias, sehingga realitas menjadi relatif.

Dalam perjalanannya,Istilah post-truth menjadi populer, ketika Oxford Dictionaries memilih “post-truth” sebagai word of the year pada tahun 2016, karena penggunaannya yang begitu masif selama pemilihan presiden kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat di tahun 2016. Dan referendum Brexit, di mana Inggris keluar dari Uni Eropa. Kedua peristiwa ini seringkali dikaitkan dengan manipulasi informasi, berita palsu (fake news) dan emosi publik.

ADVERTISEMENT

banner 300x250

SCROLL TO RESUME CONTENT

Hal seperti ini, sering kali ditemukan dalam kontestasi pemilu dan juga dikalangan organisasi mahasiswa. Ketika sekelompok oposisi mengkritik rezim yang berkuasa dengan narasi yang ilmiah, terkadang individu cendrung menerima informasi itu dibawah emosionalnya dan mengabaikan fakta dianggap sebagai kebenaran. Ini akan menimbulkan provokasi terhadap masyarakat atau kalangan anggota oranisasi mahasiswa sehingga berpotensi memicu terjadinya konflik.

Karateristik Post-Truth

Ada beberapa karakteristik post-truth. Pertama adalah dominasi emosi. Suatu pendapat atau keputusan lebih banyak didasarkan pada emosi dan perasaan, daripada fakta yang dapat diverifikasi. Ketika yang emosi itu seorang individu yang menjabat sebagai ketua dalam organisasi mahasiswa dan juga para pejabat tinggi, dampaknya akan semakin meluas. Individu yang membaca terpukau dengan kepintaran dan statusnya terutama dalam mengamati isu sosial, seperti rasisme, ham, lingkungan, ekonomi, konflik masyarakat adat dan lainnya.

Kedua relativisme kebenaran. Kebenaran dianggap sebagai sesuatu yang subjektif. Untuk mendukung agar dianggap benar, biasanya diiringi dengan pernyataan seperti: “kebenaran setiap orang berbeda.” Oleh sebab itu, tidak bisa memaksakan kebenaran kepada orang lain.

Ketiga adalah misinformasi dan disinformasi. Informasi yang salah atau menyesatkan menyebar luas, terutama melalui media sosial. Tidak pernah ada usaha untuk melakukan klarifikasi, atas informasi yang salah. Jika pun ada, tidak sebanding dan tidak cukup meluruskan sesuatu yang sudah kadung bengkok.

Keempat, ketidakpercayaan pada institusi. Skeptisisme terhadap institusi, seperti kepada pemerintah, media, dan ilmuwan, menyebabkan penurunan kepercayaan terhadap sumber-sumber informasi yang sah. Akibatnya yang diambil sebagai referensi adalah yang sesuai atau yang selaras dengan kepentingannya sendiri.

Kelima, fenomena echo chamber. Orang cenderung hanya mencari informasi yang mendukung pandangan, kepentingan dan maksud mereka. Tidak pernah berusaha mengklarifikasi, mencari informasi atau data yang berbeda dengan pandangannya. Ini akan menciptakan lingkungan yang terisolasi, dari cara berpikir atau pandangan yang berbeda.

Contoh fenomena post-truth, ada beberapa macam bidang. Diantaranya adalah dalam bidang politik. Kampanye politik yang menggunakan informasi palsu untuk memengaruhi opini publik. Di media sosial, berupa penyebaran berita palsu (fake news) yang sering kali diterima tanpa diverifikasi. Juga dalam bentuk penolakan sains. Penolakan terhadap konsensus ilmiah, seperti pada isu perubahan iklim atau vaksin, yang sering didasarkan pada teori konspirasi.

Dan dampak post-truth dapat mengakibatkan sesuatu yang sangat fatal. Post- truth dapat membuat menurunnya kepercayaan pada institusi. Ini berbahaya, sebab jika tidak percaya data, maka data yang digunakan adalah yang sesuai dengan keinginannya sendiri, atau bisa saja yang dibuat sendiri.

Post-truth juga dapat mengakibatkan polarisasi di masyarakat akan semakin tajam. Perseteruan akan semakin sulit untuk dicapai jalan tengahnya, sebab deviasinya semakin hari bisa semakin besar. Ini membuat hubungan akan semakin renggang. Dan perseteruan akan semakin nampak terlihat ke permukaan.

Dan yang harus diwaspadai bersama adalah, semakin sulit untuk mencapai konsensus dalam hal yang berkaitan dengan isu-isu penting. Sebab didalamnya akan banyak kepentingan yang saling bersilangan satu dengan yang lain. Kompromi semakin sulit karena data atau tolok ukur untuk mempercayai suatu kebenaran, berbeda antara yang satu dengan yang lain.

Dampak Era Post-Truth pada Kesalahan Berpikir

Dalam bidang filsafat dan logika, logical fallacy atau kesalahan berpikir merujuk pada kekeliruan dalam proses bernalar yang menyebabkan argumen menjadi tidak valid atau tidak dapat diperanggung-jawabkan secara logis. Terkadang, sebuah argumen terasa masuk akal, namun pada faktanya tidaklah demikian.

Era post-truth membuat individu cenderung menerima informasi tanpa kritis, mudah terpengaruh oleh disinformasi, dan kesulitan membedakan fakta dari hoaks.

Peningkatan Penerimaan Informasi yang Salah:

Penyebaran berita palsu (hoax) dan disinformasi yang masif di media sosial, tanpa verifikasi yang memadai, memperburuk situasi ini.

Penguatan Stereotip dan Prasangka:

Informasi yang salah dan kurangnya kemampuan berpikir kritis dapat memperkuat stereotip dan prasangka negatif terhadap kelompok tertentu.

Pergeseran Orientasi pada Emosi:

Dalam era post-truth, emosi dan kepercayaan pribadi seringkali lebih dominan daripada fakta objektif dalam membentuk opini publik.

Kecenderungan Self-Diagnosis dan Penolakan Otoritas:

Individu cenderung memilih informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, bahkan jika informasi tersebut salah atau tidak lengkap, dan meragukan otoritas serta pengetahuan ilmiah.

Kesalahan berpikir Individu dapat dilihat dari cara berpikir Hasty Generalization (Generalisasi Terburu-buru)

Jenis kesalahan berpikir dan bernalar (logical fallacy) ini terjadi ketika seseorang membuat kesimpulan umum berdasarkan sampel yang terlalu sedikit. Contoh: “Saya pernah membaca tulisan oleh aktor yang mengatasnamakan organisasi, dalam tulisan tersebut menarasikan hubungan jabatan fungsional ketua dan dinalogikan seperi manusia yang berpikir stagnan seperti para jenis homo pada saat evolusi sosial. Para anggota organisasi akan menympulkan bahwa narasi itu bersifat rasis, karena itu jika mengkritik seorang ketua dari suku tertentu maka itu rasis.” Generalisasi tanpa bukti yang cukup cenderung menyesatkan dan tidak akurat. Di Indonesia sendiri, jenis kesalahan berpikir ini sering dijumpai pada interaksi multikultural yang meyakini bahwa suku tertentu memiliki karakteristik tertentu.

Upaya Mengatasi Post-Truth

Melalui literasi media. Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk melakukan verifikasi informasi secara kritis. Dalam hal ini beruntunglah para netizen sudah mulai kritis, jika menerima berita yang tidak akurat. Mereka segera melakukan check dan recheck kepada sumber lain yang dapat dipercaya.

Juga dapat dilakukan melalui fakta dan data: Mendukung organisasi pemeriksa fakta independen. Check berita dengan aplikasi tertentu, untuk mengklarifikasi apakah itu termasuk hoax, atau tidak?

Selain itu juga dapat dengan regulasi teknologi. Mendorong perusahaan teknologi untuk membatasi penyebaran mis informasi. Semakin dirasakan perlunya sensor untuk berita-berita yang tidak jelas, hoax, memutar-balik kan fakta dan menyaring berita-berita yang berpotensi memecah belah kesatuan bangsa dan negara.

Dan yang tidak kalah penting adalah dengan melakukan dialog terbuka. Membangun komunikasi yang inklusif dan menghargai perbedaan pendapat. Melalui forum yang komunikatif, diharapkan akan dapat tercapai kesepahaman, saling mengerti, menghargai dan menghormati.

Penutup

Post-Truth semakin hari semakin berkembang, seakan tanpa kendali. Dan menantang cara masyarakat dalam memahami realitas dan kebenaran. Kebenaran sangat bisa mengalami distorsi dan melenceng dari yang sebenarnya. Situasi ini sungguh sangat memprihatinkan.

Siapa yang berani bersuara keras, akan menyingkirkan mereka yang benar tetapi diam saja. Mereka yang benar tidak berani bersuara, oleh karena beberapa alasan. Cara mengatasinya membutuhkan upaya kolektif, yang mengutamakan integritas informasi dan literasi kritis.

Kita memasuki situasi, dimana pembohong dibenarkan sedangkan orang yang jujur didustakan. Ini menjadi bukti post-truth telah melanda kemana-mana. Orang tidak mau membaca opini dari sumber berita yang valid.

Mereka lebih mempercayai hoaks yang dibuat untuk memenuhi tuntutan emosi. Post-truth semakin mampu mengalahkan rasionalitas. Jika dibiarkan akan mempengaruhi interaksi sosial, menghambat laju pembangunan, meniadakan keunggulan, dan mengancam kemandirian bangsa.

Maka, pentingnya berhati-hati dengan berita yang anda baca. Belum tentu berita itu benar! Pastikan untuk selalu melakukan cross-check berita yang sensitif, agar tidak terpengaruh, terpedaya isinya yang bisa saja begitu tendensius dan agitatif bahkan menimbulkan konflik dalam organisasi masyarakat.

Berita Terkait

Ketum XTC Indonesia Ajak Perkuat Soliditas pada Muscab DPC Kabupaten Bandung
Hak Ahli Waris SD Cisande 5 Terabaikan: Kuasa Hukum Minta Gubernur Jabar Intervensi, Jangan Biarkan Keadilan Terhambat
LSM Investigasi Negara (LIN) Ungkap Dugaan Pengalihan Dana Revitalisasi Sekolah di Takalar
Ketua LSM Pemantik Ingatkan Polres Takalar Serius Tangani Kasus Pemboman Ikan di Tanakeke
RSUD Umar Wirahadikusumah: Apakah Nama Hanya Hiasan? Kesejahteraan Karyawan dan Pasien Terabaikan
Pemboman Ikan di Tanakeke Makin Merajalela Nasib Nelayan Memprihatinkan.
RSUD Cililin Bandung Barat : Contoh Kegagalan Pelayanan Kesehatan di Wilayah Perbatasan

Berita Terkait

Rabu, 12 November 2025 - 10:27 WIB

Ketum Laskar Monta Bassi klarifikasi Berita Viral Terkait Pembongkaran Rumah

Rabu, 12 November 2025 - 00:15 WIB

Polsek Indrapura Gencar Sosialisasi SMA Kemala Taruna Bhayangkara, Sasar Siswa SMPN 1 Sei Suka

Selasa, 11 November 2025 - 23:53 WIB

Polsek Labuhan Ruku Perkuat Pengamanan Malam, Gencarkan Patroli untuk Cegah Kriminalitas di Tanjung Tiram

Selasa, 11 November 2025 - 23:28 WIB

Polres Batu Bara Terangi Malam dengan “Blue Light,” Jaga Keamanan dan Kelancaran Lalu Lintas di Jalinsum

Selasa, 11 November 2025 - 16:02 WIB

LPR Akan Melaporkan Dana Revitalisasi SDN Inpres 162 kampung beru ke APH, Diduga Ada Kejanggalan

Selasa, 11 November 2025 - 13:44 WIB

Kapolsek Medang Deras Gencarkan “Cooling System”, Jalin Sinergi dengan TNI dan Masyarakat Jaga Kamtibmas

Selasa, 11 November 2025 - 04:49 WIB

Polres Batu Bara Aktif Gelar Patroli “Blue Light”, Jamin Keamanan dan Kelancaran Lalu Lintas Malam

Selasa, 11 November 2025 - 04:26 WIB

Polsek Indrapura Intensifkan Patroli Malam, Prioritaskan Pencegahan Balap Liar dan Kejahatan Jalanan

Berita Terbaru